Korosi Intergranular |
Korosi
dapat didefinisikan sebagai perusakan suatu material (terutama logam, karena
bereaksi dengan lingkungannya). Karena bereaksi dengan lingkungannya ini
sebagian logam akan menjadi oksida, sulfur atau hasil reaksi lain yang dapat
larut dalam lingkungannya. Dengan bereaksi ini logam akan hilang, menjadi suatu
senyawa yang lebih stabil. Di alam logam pada umumnya berupa senyawa karena itu
peristiwa korosi juga dapat dianggap sebagaimana terdapat di alam. Dan ini
merupakan kebalikan dari proses extractive metallurgy, yang memurnikan logam
dari senyawa. Macam – macam bentuk korosi dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok, yaitu :
- Uniform Corrosion
- Galvanic Corrosion
- Crevice Corrosion
- Pitting Corrosion
- Intergranular Corrosion
- Erosion Corrosion
- Stress Corrosion Cracking
- Corrosion Fatigue
Laju
korosi merupakan keccepatan perambatan terjadi proses pengkorosian pada
material. Perhitungan laju korosi dihitung berdasarkan perubahan berat terhadap
luasan permukaan dan durasi pengujian, walaupun prinsip yang digunakan adalah
sama. Menghitung laju korosi umumnya dapat menggunakan 2 cara yaitu :
- Metode Elektrokimia
- Metode kehilangan berat
2.3.1
Korosi Batas Butir
Intergranular corrosion (IGC) atau
intergranular attack (IGA) atau korosi batas butir adalah serangan korosi pada
daerah sepanjang batas butir atau daerah sekitarnya tanpa serangan yang cukup
besar terhadap butirannya sendiri. Seperti diketahui, logam merupakan susunan
butiran – butiran Kristal seperti butiran pasir yang menyusun batu pasir.
Butiran –butiran tersebut saling terikat yang kemudian membentik mikrosruktur.
Adanya serangan korosi batas butir sehingga logam kehilangan kekuatan dan
kaktilitasnya.
Sebagian
besar paduan logam rentan terserang korosi batas butir ketika dihadapkan pada
lingkungan agresif. Hal ini disebabkan batas butir merupakan tempat pengendapan
(precipitation) dan pemisahan (segregation), dimana membuat mereka secara fisik dan
kimia berbeda dengan butirnya. Presipitasi dan segregasi terjadi oleh adanya
migrasi impuriti atau unsur pemadu (alloying element)
menuju batas butir. Apabila kadar unsur tersebut cukup besar, maka akan
terbentuk fasa yang berbeda dengan yang ada di bulk. Misalnya fasa intermetalik
Mg5Al8 dan MgZn2 pada paduan aluminum dan Fe4N pada paduan besi.
Pada
paduan nikel dan austenitic stainless steel, kromium sengaja ditambahkan untuk
memberikan sifat ketahanan korosi. Sekitar minimal 12% kromium dibutuhkan untuk
membentuk lapisan pasif yang tidak nampak pada permukaan stainless steel.
Lapisan ini berfungsi untuk melindungi logam dari lingkungan korosif. Apabila
stainless steel mengalami pemanasan pada 550-850 °C (misalnya selama produksi,
fabrikasi, perlakuan panas, dan pengelasan), maka kromium karbida (terutama Cr23C6) akan tumbuh dan
mengendap pada batas butir saat terjadi pendinginan. Sebagai konsekuensinya,
wilayah yang berdekatan dengan batas butir akan kekurangan kromium. Daerah yang
kekurangan kromium itu menjadi lebih rentan terserang korosi dalam lingkungan
agresif dibandingkan daerah yang jauh dari batas butir.
Pengendapan
atas beberapa karbida sering disebut sebagai “sensitasi”. Sensitisasi merupakan
penyebab terjadinya serangan korosi batas butir. Sensitisasi terjadi saat
pendinginan perlahan dari suhu 550-850 °C. Sensitisasi pada stainless steel
dapat dicegah dengan cara:
-
Pemanasan
di atas 1000 °C kemudian dilakukan pendinginan secara cepat di dalam air.
Akibatnya kromium karbida akan larut ke dalam butiran dan tidak sempat terjadi presipitasi.
Metode ini dikenal dengan solution treatment.
-
Menambahkan
titanium, niobium, dan tantalum. Ketika unsur tersebut akan membentuk titanium
karbida, niobium karbida dan tantalum karbida yang lebih stabil daripada
kromium karbida. Baja yang mengandung unsur-unsur penstabil ini disebut stabilized steel.
-
Menurunkan
kadar karbon di bawah 0,02%.
Advertisement
0 komentar:
Post a Comment