Thursday, 23 January 2014

Korosi Intergranular
      Korosi dapat didefinisikan sebagai perusakan suatu material (terutama logam, karena bereaksi dengan lingkungannya). Karena bereaksi dengan lingkungannya ini sebagian logam akan menjadi oksida, sulfur atau hasil reaksi lain yang dapat larut dalam lingkungannya. Dengan bereaksi ini logam akan hilang, menjadi suatu senyawa yang lebih stabil. Di alam logam pada umumnya berupa senyawa karena itu peristiwa korosi juga dapat dianggap sebagaimana terdapat di alam. Dan ini merupakan kebalikan dari proses extractive metallurgy, yang memurnikan logam dari senyawa. Macam – macam bentuk korosi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu :
  1. Uniform Corrosion
  2. Galvanic Corrosion
  3. Crevice Corrosion
  4. Pitting Corrosion
  5. Intergranular Corrosion
  6. Erosion Corrosion
  7. Stress Corrosion Cracking
  8. Corrosion Fatigue
Laju korosi merupakan keccepatan perambatan terjadi proses pengkorosian pada material. Perhitungan laju korosi dihitung berdasarkan perubahan berat terhadap luasan permukaan dan durasi pengujian, walaupun prinsip yang digunakan adalah sama. Menghitung laju korosi umumnya dapat menggunakan 2 cara yaitu :
  1. Metode Elektrokimia
  2. Metode kehilangan berat
2.3.1 Korosi Batas Butir
            Intergranular corrosion (IGC) atau intergranular attack (IGA) atau korosi batas butir adalah serangan korosi pada daerah sepanjang batas butir atau daerah sekitarnya tanpa serangan yang cukup besar terhadap butirannya sendiri. Seperti diketahui, logam merupakan susunan butiran – butiran Kristal seperti butiran pasir yang menyusun batu pasir. Butiran –butiran tersebut saling terikat yang kemudian membentik mikrosruktur. Adanya serangan korosi batas butir sehingga logam kehilangan kekuatan dan kaktilitasnya.
Sebagian besar paduan logam rentan terserang korosi batas butir ketika dihadapkan pada lingkungan agresif. Hal ini disebabkan batas butir merupakan tempat pengendapan (precipitation) dan pemisahan (segregation), dimana membuat mereka secara fisik dan kimia berbeda dengan butirnya. Presipitasi dan segregasi terjadi oleh adanya migrasi impuriti atau unsur pemadu (alloying element) menuju batas butir. Apabila kadar unsur tersebut cukup besar, maka akan terbentuk fasa yang berbeda dengan yang ada di bulk. Misalnya fasa intermetalik Mg5Al8 dan MgZn2 pada paduan aluminum dan Fe4N pada paduan besi. 
Pada paduan nikel dan austenitic stainless steel, kromium sengaja ditambahkan untuk memberikan sifat ketahanan korosi. Sekitar minimal 12% kromium dibutuhkan untuk membentuk lapisan pasif yang tidak nampak pada permukaan stainless steel. Lapisan ini berfungsi untuk melindungi logam dari lingkungan korosif. Apabila stainless steel mengalami pemanasan pada 550-850 °C (misalnya selama produksi, fabrikasi, perlakuan panas, dan pengelasan), maka kromium karbida (terutama Cr23C6) akan tumbuh dan mengendap pada batas butir saat terjadi pendinginan. Sebagai konsekuensinya, wilayah yang berdekatan dengan batas butir akan kekurangan kromium. Daerah yang kekurangan kromium itu menjadi lebih rentan terserang korosi dalam lingkungan agresif dibandingkan daerah yang jauh dari batas butir.
Pengendapan atas beberapa karbida sering disebut sebagai “sensitasi”. Sensitisasi merupakan penyebab terjadinya serangan korosi batas butir. Sensitisasi terjadi saat pendinginan perlahan dari suhu 550-850 °C. Sensitisasi pada stainless steel dapat dicegah dengan cara:
-          Pemanasan di atas 1000 °C kemudian dilakukan pendinginan secara cepat di dalam air. Akibatnya kromium karbida akan larut ke dalam butiran dan tidak sempat terjadi presipitasi. Metode ini dikenal dengan solution treatment.
-          Menambahkan titanium, niobium, dan tantalum. Ketika unsur tersebut akan membentuk titanium karbida, niobium karbida dan tantalum karbida yang lebih stabil daripada kromium karbida. Baja yang mengandung unsur-unsur penstabil ini disebut stabilized steel.

-          Menurunkan kadar karbon di bawah 0,02%.
Advertisement

0 komentar:

Advertisement